Selasa, 17 Mei 2011

Renungan: Moralitas, Kesadaran dan Ketidaksempurnaan Pandangan

Setelah mendoakan Guru yang memandu perjalanan batin mereka, sepasang suami istri kembali bercengkerama di beranda rumah dengan lampu dimatikan. Sambil menikmati pemandangan beberapa bintang yang nampak cemerlang di kegelapan malam, mereka berbagi rasa.
Sang Isteri: Suamiku, sebenarnya mana yang lebih tepat moralitas dahulu atau kesadaran yang harus didahulukan?
Sang Suami: Masing-masing punya pendukung dengan alasan masing-masing. Oleh karena itu lebih baik mengatakan ini adalah pandangan pribadi saya sampai dengan saat ini……. Segala sesuatu dapat dimulai dari luar atau dari dalam diri. Sebuah peraturan mengatur dari luar agar setiap orang tidak bertindak melanggar peraturan tersebut. Sedangkan kesadaran tumbuh dari dalam diri, setelah sadar, tanpa atau dengan peraturan dia tidak akan melanggarnya.
Sang Isteri: Benar suamiku, berbagai peraturan telah dibuat pemerintah, akan tetapi penyalahgunaan wewenang tetap saja terjadi. Berbagai Kitab Suci mengatur manusia, akan tetapi nampaknya akhlak manusia belum juga beranjak dari tahun ke tahun. Mungkin karena Kitab Suci hanya dianggap sebagai peraturan dan mungkin para pemuka agama tidak menjadikannya sebagai pedoman pembangkitan kesadaran. Semoga kesadaran bangsa Indonesia meningkat sehingga akhlak anak-anak bangsa membaik.
Sang Suami: Seseorang yang bertindak dengan tidak melanggar peraturan belum tentu pikirannya sudah bersih, mungkin ada ketakutan atau ada malu untuk melanggar peraturan. Dalam buku Panca Aksara Bapak Anand Krishna menjelaskan bahwa kehidupan itu adalah kumpulan dari berbagai pengalaman. Pengalaman adalah kumpulan dari berbagai perbuatan. Perbuatan adalah hasil dari keinginan. Keinginan terbentuk oleh pikiran…… Segala sesuatu diawali dengan pikiran. Sedangkan kesadaran berada di atas pikiran. Dengan menjadi sadar maka seseorang dapat mengendalikan pikirannya dan ke hilirnya keinginannya akan baik, perbuatannya akan baik, pengalamannya akan baik dan kehidupannya akan baik. Sesungguhnya hidup kita adalah cerminan dari pikiran kita.
Sang Isteri: Jadi, pikiran dapat menentukan “jenis” hidup yang dilakoni, hidup bahagia dan penuh suka-cita atau hidup sengsara penuh duka. Pilihan di tangan kita sendiri. Saya pernah mendengar seorang pujangga berkata bahwa “Manusia adalah Hasil Pikirannya.” Apakah dia mengucapkan hal yang benar?
Sang Suami: Jika manusia dimaknai dengan pengalamannya sepanjang hidupnya saya setuju. Tetapi manusia tidak hanya sebagai pelaku, sekaligus dia sebagai penonton. Coba pada waktu latihan meditasi, kita dapat mengamati pikiran kita, kita dapat mengamati emosi dan rasa kita, kita dapat mengamati kehidupan kita dan kehidupan orang lain. Manusia tidak hanya pelaku tetapi sekaligus sebagai pengamat, penonton. “Kehidupan manusia” adalah hasil dari pikirannya sendiri, tetapi “manusia” adalah sebagai pelaku dan juga sebagai pengamat, sebagai saksi. Sebagai pelaku dia mempunyai ego, sebagai saksi dia universal, dia bisa memperhatikan egonya, dia bisa melihat dirinya sedang marah atau sedang tersanjung. Yang marah atau yang tersanjung adalah egonya.
Sang Isteri: Terima kasih suamiku, kembali ke peraturan. Bukankah peraturan pun didefinisikan dari sebuah kesadaran?
Sang Suami: Iya, tetapi kesadaran tidak dapat didefinisikan secara baku menjadi peraturan. Peraturan merampas hak kita untuk berkesadaran. Peraturan menciptakan robot tak berkesadaran. Kita begitu terpaku pada peraturan-peraturan semu, undang-undang yang sudah kadaluwarsa sehingga tidak berani melihat sisi lain kehidupan. Kita lupa bahwa peraturan-peraturan itu dibuat untuk manusia. Manusia tidak dibuat untuk peraturan.
Sang Isteri: Jadi menurut pendapatmu, kesadaran dulu baru moralitas. Seseorang yang sadar dengan sendirinya akan menjadi moralis, tetapi seorang moralis belum tentu sadar. Setelah sadar akan hakikat dirinya, sadar akan lingkungan, sadar akan kewajibannya terhadap keluarga, perusahaan di mana ia bekerja – sadar akan segala sesuatu. Seseorang yang sadar dengan sendirinya akan menjadi moralis. Terima kasih suamiku.
Sang Suami: Contoh, minuman keras dilarang, dan seseorang tidak melakukan perbuatan minum minuman yang memabokkan tersebut, tetapi keinginan minum boleh jadi masih ada. Berarti hanya memindahkan minuman keras dari kesadaran jaga ke kesadaran ke alam bawah sadar. Belum sepenuhnya terbebaskan dari minuman keras….. Tentang moralitas, sebenarnya, nilai-nilai moral itu berubah dari zaman ke zaman. Dalam satu zaman saja, kadang-kadang apa yang dianggap moral oleh satu kelompok, bisa dianggap amoral oleh kelompok lain. Akan tetapi, seseorang yang “sadar” akan Kehadiran Allah di mana-mana, dengan sendirinya dia akan jadi bermoral. Dengan sendirinya dia akan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur.
Sang Isteri: Bagaimana tentang seseorang atau kelompok yang menganggap pandangan mereka paling benar dan menganggap pandangan orang lain salah?
Sang Suami: Wkkkkekekkkk, itulah sebabnya saya selalu mengatakan sebagai pandangan pribadi sampai dengan saat ini……..  Tanpa disadari, kegigihan seseorang untuk mempertahankan “pandangan dan pendapat pribadi atau kelompok” itu sudah sama dengan menduakan Tuhan. Dia menempatkan “pandangan dan pendapat”-nya sejajar dengan Tuhan. Bukankah ini berarti, telah memberhalakan “pandangan dan pendapat”? Kemudian “pandangan dan pendapat” itu yang dia agung-agungkan. Dia lupa mengagungkan Tuhan. Orang tersebut lupa bahwa “Dia” berada di atas segala “pandangan dan pendapat”.
Sang Isteri: Benar suamiku, kita lupa bahwa tujuan hidup bukanlah “mempertahankan” pandangan dan pendapat. Tetapi untuk “berjalan” menuju “Dia”. “Pandangan dan pendapat” sekadar “sarana”, “bekal” untuk perjalanan.
Sang Suami: Demikian isteriku, apa pun kata orang saya sangat menghargai Guru. Seakan-akan Guru selalu mengingatkan, “watch out!” itulah bahayanya orang yang merasa pandai, dia merasa telah mengerti tentang moral, telah mengerti tentang kesadaran, mengerti tentang segala sesuatu, padahal mungkin dia lupa bagaimana menerapkan pemahamannya. Yang penting bukan memahami tetapi menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Terima Kasih Guru.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More